psudra2001

Just another WordPress.com site

Archive for May 2011

5 Cs dalam analisis kredit yang perlu dihindarkan

leave a comment »

Selain faktor 5Cs yang harus diperhatikan analis kredit dalam menganalisis suatu permohonan kredit, terdapat 5Cs lain yang harus dihindarkan oleh analis kredit agar tidak terjebak dalam kredit bermasalah dikemudian hari.

5Cs yang wajib diikuti terdiri dari Character, Capacity, Capital, Condition dan Collateral, merupakan analisa kredit yang sudah menjadi dasar analisis para bankir sejak jaman dulu, dan menjadi salah satu dasar kriteria pemutusan suatu permohonan kredit, dengan harapan kredit yang diberikan tidak menjadi masalah dikemudian hari. Bahwa sebagian kredit ternyata kemudian menjadi bermasalah, banyak faktor yang menyebabkan hal itu dapat terjadi. Bank hendaknya belajar dari pengalaman memberikan kredit di masa lalu, dimana kredit tersebut kemudian menjadi bermasalah. Untuk mencegah kejadian ini berulang, terdapat 5C lain yang wajib dihindarkan oleh pada pemutus kredit. Kelima C yang harus dihindarkan tersebut adalah: complacency atau cepat puas, carelessness atau kelalaian, communication atau komunikasi, contingencies atau faktor kontinjen dan competition atau tekanan persaingan.

  1. Complacency

Ketika terjadi permasalahan dalam kredit, bankir sering menyesali bahwa pada saat kredit tersebut diputuskan, karena terlalu yakin, dia tidak melakukan evaluasi atas karakter nasabah secara cermat, sehingga kredit kemudian menjadi bermasalah.

Sebagai ilustrasi, seorang nasabah kredit dengan baki debet sebesar Rp 500 juta sudah menunjukan bahwa selama ini, debitur selalu melunasi semua kewajiban dengan baik. Suatu saat debitur tersebut datang pada bank untuk memohon tambahan kredit sebesar Rp 500 juta, dengan jangka waktu 90 hari.

Kebetulan pada saat ini pejabat bank yang berwenang membuat kebetulan sedang sibuk, dan mengabaikan rumor yang terdengar diluar mengenai bahwa debitur tersebut sekarang dapat hobi baru, yaitu berjudi, dan mempunyai masalah keluarga yang melanda nasabah tersebut. Akhirnya bankir tersebut menyetujui permohonan kredit debitur. Belakangan ternyata rumor yang beredar itu benar, perusahaan debitur bermasalah dan isteri dari nasabah sudah mengajukan gugatan cerai. Sebagian kredit sekitar Rp 300 juta yang sudah terlanjur ditarik tidak dapat dikembalikan nasabah.

Dalam kasus ini, pejabat bank cepat merasa puas atas kinerja nasabah selama ini, kewajiban selalu dibayar, dia malah tidak menanyakan apa sebenarnya tujuan penggunaan kredit, dan rencana sumber pelunasan.

Bank harus berupaya menghindar dari sifat cepat puas atau complacent, yang sering diekspresikan dalam pernyataan berikut: “kita tidak usah khawatir pada nasabah kita ini. Selama ini dia selalu sudah memenuhi kewajiban pada bank secara baik”.

Seringkali asumsi yang kita tetapkan dengan berjalannya waktu menjadi tidak tepat dan perlu penyesuaian. Hal lain adalah terlalu percaya pada pihak yang memberikan garansi atau jaminan. Perlu dipahami bahwa niat orang untuk memberikan jaminan pribadi dapat berubah dari waktu ke waktu.

Pada kasus diatas, ternyata terlalu mengandalkan pada kinerja historis dapat menimbulkan masalah. Keberhasilan di masa lalu tidak selalu dapat menjamin keberhasilan di masa depan. Namun fakta ini seringkali diabaikan oleh pejabat bank. Coba perhatikan pendapat  yang sering dikatakan oleh para bankir: “sudah tiga kali kredit ini diperpanjang, selalu dapat diselesaikan dengan baik, nasabah tidak pernah menunggak pembayaran bunga” atau: “tiga perjanjian kredit yang kita sudah setujui sudah dilunasi dengan baik, mengapa kita harus khawatir dengan yang satu ini?”

Terlalu mengandalkan kekayaan yang dimiliki seseorang juga dapat menimbulkan masalah, seperti kasus yang sering terjadi pada bankir sebagai berikut: “saya sangat mengenalnya, saya mengenal keluarganya, dia berasal dari keluarga kaya dan sudah menjadi nasabah kita selama bertahun-tahun, jadi tidak mungkin bermasalah”, kemudian nasabah tersebut menjadi pesakitan dalam pengadilan niaga dalam kasus kepailitan.

Masalah yang sering terjadi, bankir sering cepat lupa dari masalah yang terjadi pada masa lalu. Seringkali bankir berpikir bahwa negara ini jauh dari resesi, dan ekonomi akan tumbuh terus. Padahal sebenarnya kita sudah mengerti bahwa siklus bisnis dari ekspansi, booming dan resesi akan senantiasa berulang. Bankir harus awas terhadap “bahaya pada saat kondisi sedang baik”. Karena bahaya kondisi ekonomi menurun selalu akan tiba. Jadi, seorang bankir yang baik tidak boleh bersikap complacent atau terlalu yakin.

2.   Carelessness (kurang cermat)

Ungkapan seorang bankir yang kurang hati-hati kurang lebih sebagai berikut: “tidak usah khawatir mengenai masalah persyaratan kredit dan dokumentasi, akan saya selesaikan segera”. Sistim pencatatan yang tidak rapih, dan dokumentasi yang amburadul seringkali membawa bank dalam masalah di pengadilan apabila terjadi permasalahan pada hubungan perkreditan dikemudian hari.

Laporan keuangan perusahaan biasa diterima bank setiap triwulan atau setiap enam bulan. Bank harus meneliti laporan tersebut, karena perubahan kondisi pasar dan ekonomi dapat saja mengubah pandangan bank terhadap debitur. Bank harus peduli apa yang terjadi sejak laporan keuangan terakhir diterima bank. Bank harus menempatkan setiap perpanjangan kredit sebagai kredit yang baru, sehingga selalu update dan sesuai dengan kondisi ekonomi dan kondisi nasabah terakhir.

Banyak ditemukan kasus dimana terdapat pinjaman dengan dokumentasi yang tidak lengkap, laporan keuangan tidak teratur disampaikan sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam perjanjian kredit, syarat kredit tidak dipenuhi, dan sulit mencari informasi tentang nasabah karena pejabat yang mengurus kredit tersebut sekarang sudah pindah kerja ke bank lain. Hal tersebut dapat terjadi karena bankir lalai melakukan tugas dengan baik.

Dokumentasi tidak lengkap

Untuk beberapa jenis agunan perlu dilakukan pengikatan. “ jangan khawatir, akan saya kerjakan minggu depan” kata seorang pejabat kredit. Ternyata pada dalam waktu seminggu, bank lain sudah melakukan pengikatan terhadap agunan tersebut, dan akhirnya bank hanya memperoleh pengikatan kedua.

Informasi keuangan tidak lengkap

Laporan keuangan yang diterima bukan yang terkini, dan penilaian agunan belum dilakukan. Sebelum bank mengetahui kondisi sebenarnya, nasabah yang merupakan developer besar sudah dalam posisi modal negatif, dan nilai agunan sudah turun lebih dari 50% dari nilai awal. Seringkali hal ini terjadi karena bank lalai meneliti laporan keuangan sejak lama.

Tidak menetapkan syarat untuk melindungi kepentingan bank

Bankir sering kurang hati-hati menggunakan kata-kata dalam perjanjian kredit misalkan agar debitur memelihara tingkat modal minimum tertentu. Ketika bank menerima update laporan keuangan, ternyata perusahaan sudah menjadi insolvent, karena tahun lalu bonus besar dibagikan padahal perusahaan sedang mengalami kerugian usaha.

Informasi tidak dipelihara dalam arsip secara baik

Seringkali bankir tidak melakukan proses dokumentasi atas pembicaraan via tilpon atau pembicaraan secara lisan. Baru setelah debitur tersebut menjadi perkara dipengadilan, bank repot merekonstruksi apa yang sudah dibicarakan dua tahun yang lalu untuk mengupayakan penyelamatan kredit. Atau lebih parah lagi, bank yang dituntut ke pengadilan karena sesuatu yang seharusnya merupakan janji debitur untuk melaksanakannya.

3.   Communication (komunikasi)

Komunikasi yang baik sangat penting dan dapat menghidarkan dari segala macam kejutan atau surprise dari kredit bermasalah.

Komunikasi formal dalam proses perkreditan melalui memo, akan membantu agar kita yakin apa yang diusulkan, dan semua pihak yang terlibat memiliki pemahaman yang sama. Komunikasi juga diperlukan pada proses review kredit, yaitu dengan meneliti kembali dokumentasi, pembayaran bunga dan pokok dsb. Komunikasi yang baik akan memberikan informasi lengkap, tidak terlalu tergantung pada officer kredit yang menangani kredit tersebut.

Kegagalan komunikasi mungkin dapat dilihat sebagai satu hal yang sederhana, namun dapat menyebabkan bank mengalami kerugian. Pejabat kredit dapat saja mengatakan: “kami tidak mengetahui bahwa kami tidak diperbolehkan memberikan kredit jenis tersebut, tidak ada yang memberitahukan sebelumnya pada kami”. Pimpinan unit kerja dapat saja mengatakan: “kami tidak mengetahui terdapat permasalahan kredit pada cabang, karena cabang tidak pernah memberikan laporan pada saya”. Direksi juga dapat mengatakan: “kami tidak mengetahui bahwa kami dilarang memasarkan produk tersebut, karena regulator tidak pernah memberitahukan secara resmi”. Komunikasi yang tidak berjalan baik akan mendatangkan banyak permasalahan.

Tujuan penggunaan kredit tidak jelas

Manajemen harus paham mengenai target bank atas diinginkan atas kualitas kredit. Kebijakan perkreditan harus menjelaskan kredit seperti apa yang diperbolehkan dan yang mana yang tidak diperbolehkan. Walaupun kebijakan sudah ada, masalah akan timbul apabila tidak ada yang mengindahkan kebijakan tersebut.

Sebagai contoh, kebijakan kredit mengatur bahwa kredit kepemilikan rumah (KPR) dapat diberikan dengan rasio LTV (loan to value) maksimal 70%, dimana pada kenyataannya banyak KPR yang diberikan dengan LTV 95% atau 100%.

Komunikasi keatas

Apabila officer di cabang melakukan kunjungan proyek, dia yang paling dulu akan mengetahui apabila terjadi suatu permasalahan. Namun seringkali mereka beranggapan bahwa semua orang mengetahui tentang hal tersebut, yang seringkali tidak benar. Jadi perlu melakukan komunikasi keatas.

Komunikasi yang tidak jelas dari regulator

Belakangan terdapat aturan baru dalam menentukan cadangan kredit bermasalah yang disebut dengan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Apabila metode perhitungan CKPN tersebut tidak dilakukan secara seragam pada seluruh perbankan, maka dapat terjadi pada beberapa bank, kenaikan CKPN yang drastis. Demikian juga ketentuan Bank Indonesia yang mengharuskan bank melaporkan perhitungan bunga kredit pada masyarakat. Bagaimana kalau masyarakat tidak memahami perhitungan lengkap dari bunga kredit, dan menuduh bank menentukan bunga yang terlalu tinggi, yang berpotensi mengganggu bisnis bank.

Oleh karena itu, komunikasi perlu dilakukan dengan baik. Komunikasi yang dilakukan secara tidak baik akan menimbulkan permasalahan dikemudian hari.

 4.   Contingencies

Apabila debitur menjalankan usaha dengan gaya “one man show”, maka apabila debitur tersebut meninggal, mungkin perusahaan asuransi mungkin dapat dijadikan andalan untuk mengatasi permasalahan. Namun apabila debitur tersebut menjadi cacat dan tidak dapat melakukan pekerjaannya, siapa yang bertanggungjawab melunasi kewajiban pada bank?

Kontijen lain yang perlu mendapatkan perhatian, misalkan (1) bank mengalihkan atau menjual suatu tagihan pada pihak lain dengan syarat recourse atau dapat dikembalikan pada bank asal. (2) Debitur menerbitkan jaminan bank, (3) Debitur melakukan bisnis yang terkonsentrasi pada suatu industri tertentu, (4) debitur menghadapi tuntutan hukum, (5) debitur tidak menutup asuransi dengan tanggungan yang seharusnya, (6) debitur kehilangan pelanggan penting dalam usahanya, (7) debitur terkena kasus pajak, masalah keamanan kerja, tuduhan menyebabkan terjadinya polusi, pemogokan buruh, kekurangan bahan baku, dan sebagainya.

Dalam perkreditan, tugas bank adalah mengambil risiko kredit dan wajib membuat keputusan yang benar sekitar 99.5% dari 100 kredit yang diberikan, jadi toleransi membuat kesalahan dalam keputusan kredit sangat kecil. Keuntungan yang diperoleh bank dengan bisnis perkreditan dapat dengan mudah lenyap oleh satu saja kegagalan kredit dengan skala besar.

Pekerjaan officer kredit adalah mempertimbangkan risiko dan menetapkan bahwa kemungkinan besar kredit dapat dilunasi debitur pada waktunya, dengan mempertimbangkan faktor kontinjen. Artinya bank melihat kemungkinan buruk yang dapat terjadi, dan menentukan berapa kemungkinan buruk itu dapat menjadi kenyataan, dan meyakini bahwa ada jalan keluar kedua atau ketiga yang tersedia bagi bank untuk mengurangi potensi kerugian.

Kurang cermat meneliti risiko kerugian

Pejabat perkreditan sering beranggapan bahwa mereka merupakan officer kredit yang terbaik, dan kurang memahami apa yang akan terjadi kalau kondisi ekonomi tiba-tiba menurun. Bahkan terhadap hal yang sebenarnya agak jelas, sebagai contoh, developer yang merencanakan membangun gedung perkantoran di daerah SCBD, sementara ruang perkantoran yang belum tersewa masih sekitar 20%.

Keinginan untuk melakukan transaksi

Pejabat kredit dapat saja mempunyai motivasi untuk melakukan transaksi atas dasar target yang ditetapkan oleh bank, bukan atas dasar peluang bagaimana kredit dilunasi debitur pada waktunya. Dengan motif ini, sering pejabat kredit malah sibuk membantu proses penarikan kredit agar debitur segera dapat memperoleh dana kredit, dan kredit sudah segera menjadi baki debet pada bank. Yang lebih parah, officer memaksakan bahwa walaupun kondisi keuangan debitur tidak terlihat baik, tapi dia dapat membantu agar permohonan kredit dapat memperoleh persetujuan.

Memberikan harga sesuai risiko yang diambil

Penetapan harga atau bunga kredit sering menjadi kesalahan yang dibuat oleh pejabat perkreditan. Kebijakan perkreditan tidak dibuat untuk mengendalikan risiko, tapi menetapkan bunga lebih tinggi untuk kredit yang dinilai lebih berisiko. Seharusnya, kalau potensi risiko tinggi, apakah terdapat peluang debitur menjadi bermasalah?

Jadi pada dasarnya, bank hendaknya tidak mengabaikan faktor kontinjen.

5.   Competition (persaingan antar bank)

Faktor persaingan dapat menyeret bank ke dalam kesulitan, apabila kebijakan bank didikte oleh kondisi persaingan. Kasus yang sering terjadi adalah tekanan dari nasabah yang memanfaatkan persaingan antar bank. Sebagai contoh, calon nasabah datang memohon kredit, dan memberitahukan bahwa kalau bank Anda merasa tidak nyaman dengan permohonan kredit ini, bank lain diseberang jalan dengan senang hati akan memberikannya. “Bank diseberang jalan itu sudah sejak lama berupaya mengadakan pendekatan pada saya, tapi saya tetap saya lebih nyaman menjadi nasabah Anda karena selama ini bank Anda memberikan bunga yang terbaik, dan memberikan pelayanan lebih baik”.

Bankir yang peduli pada best practices tetap harus melakukan evaluasi dengan cermat dan bersikap disiplin pada aturan main yang sudah ditetapkan. Negosiasi dengan nasabah dapat saja dilakukan, tapi jangan membiarkan persaingan antar bank menentukan arah kebijakan mengambil keputusan.

Membiarkan tekanan persaingan mempengaruhi judgment merupakan tanda kelemahan manajemen, dan akan mendorong nasabah meminta lebih banyak lagi. Coba lihat kembali debitur bermasalah pada bank Anda, mungkin sebagian dari mereka merupakan nasabah yang diambil dari bank lain dengan analisa yang kurang cermat.

Tentu saja bank harus berupaya memenangkan persaingan untuk bisnis yang benar-benar baik untuk bank. Bank perlu berupaya menarik nasabah yang baik dari pesaing, atau mempertahankan bisnis yang baik dengan nasabah yang sudah ada dalam portfolio bank. Tapi perlu diperhatikan, jangan sampai kondisi persaingan yang menentukan persetujuan kredit. Persetujuan kredit tetap harus berdasarkan prinsip prudensial, dengan memperhatikan kondisi persaingan. Dengan kata lain, keputusan dibuat sehingga menguntungkan bagi bank baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Mungkin saja pesaing mempunyai kebijakan yang berbeda, dan mereka lebih menginginkan bisnis yang diperebutkan, namun jangan membiarkan kondisi persaingan menentukan arah keputusan kredit, yang akhirnya dapat mengakibatkan semua bank mengalami kerugian.

Tindakan bank yang kurang pas dalam menghadapi tekanan persaingan dapat digambarkan sebagai berikut:

  • Bank memutuskan untuk tidak kehilangan nasabah. Bank pesaing memberikan bunga KPR 10%, lalu bank Anda memutuskan memberikan 9%.
  • Nasabah melakukan negosiasi dengan bank lain, misalkan bank lain bersedia memberikan LTV 90%, lalu bank Anda memutuskan melawan dan setuju memberikan LTV 100%.

Kedua contoh diatas menunjukan bahwa keputusan bank bukan atas dasar karakteristik dari kredit, melainkan semata-mata akibat tekanan persaingan.

Tindakan bank dengan motif agar memperoleh ranking tinggi dalam bisnis perbankan misalkan: Bank melihat bahwa apabila bank agresif membuat keputusan kredit, maka pada akhirnya akan membawa posisi bank menjadi nomor satu, atau nomor 3 atau nomor lima dalam hal aset produktif.

Dengan demikian bank membuat keputusan kredit tidak atas dasar apakah kredit memberikan keuntungan bagi bank, melainkan lebih melihat bagaimana agar bank dapat tumbuh dengan cepat, namun kurang melihat kondisi pasar yang dilayani oleh bank. Yang utama, memberikan lebih banyak kredit, yang dapat segera memberikan dampak pada ranking bank dalam industri.

Bukan berarti bank tidak boleh mempunyai tujuan tertentu, namun bank harus menetapkan prioritas dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian dapat diputuskan, apakah bank akan mencapai tujuan pertumbuhan dengan cara apa saja, atau menetapkan hanya tumbuh melalui kredit dengan kualitas tertentu.

Pada dasarnya, bank tidak seharusnya terbawa arus oleh tekanan persaingan.

Semua yang diuraikan diatas sebenarnya tidak ada yang baru bagi para bankir. Pada umumnya semua sudah mengetahui dan sebenarnya berita diatas sudah tidak asing. Namun kesalahan demi kesalahan terus saja terjadi. Oleh karena itu bank tetap memerlukan cadangan kredit bermasalah yang sekarang disebut dengan CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai).

 Kesimpulan:

Agar bankir sejauh mungkin terhindar dari jebakan kredit macet yang selama ini membuat hidup bankir menjadi tidak nyaman,  bankir perlu mengkombinasikan 5Cs yang harus dilakukan, dan 5Cs yang tidak boleh dilakukan. 5Cs yang wajib dilakukan terdiri dari Character, Capacity, Capital, Condition dan Collateral. 5Cs yang wajib dihindarkan adalah complacency atau cepat puas, carelessness atau kelalaian, communication atau faktor komunikasi, contingencies dan competition atau tekanan persaingan.

Written by psudra2001

May 10, 2011 at 3:49 pm

Posted in Uncategorized

Peran 5Cs dalam analisa Kredit

leave a comment »

Bankir pada umumnya sudah sangat kenal dengan yang namanya lima C, yang digbatunakan untuk menerima atau menolak suatu permohonan kredit. Analisa kredit merupakan proses sebelum dibuat keputusan, yang dibuat tidak atas dasar emosi atau perasaan, melainkan atas dasar kajian mendalam atas kekuatan dan kelemahan debitur.

Secara fundamental, analisis kredit dapat dibagi atas dua bagian, yaitu (1) analisa kualitatif untuk memahami usaha debitur, posisi usaha dalam industri, kondisi persaingan, ancaman pemain baru, risiko teknologi ketinggalan jaman, dan memahami gaya manajemen dari debitur. (2) analisa arus kas atau cash flow, dengan menggunakan laporan keuangan (neraca dan rugi laba), dan melihat arus kas masuk (sumber dana) dan arus kas keluar (penggunaan dana).

C’s dari kredit sudah sejak lama digunakan sebagai alat analisa dengan mempertimbangkan unsur character, capacity, capital, conditions, dan collateral yang merupakan 5Cs untuk menghasilkan kualitas kredit yang baik. Belakangan, kalangan bankir juga memperkenalkan tambahan beberapa C untuk 5Cs tersebut, dan 5Cs yang berbeda untuk menghasilkan kualitas kredit yang buruk.

Dua pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya oleh para analis kredit, yaitu (1) apakah debitur dapat membayar kewajiban? (2) apakah debitur bekeinginan untuk membayar kewajiban.  

6 Cs dari Kredit

Analisa kredit sudah berevolusi mulai dari 3C, 4C, 5C dan sekarang sudah banyak yang menggunakan 6C dan dari kredit, sebagai berikut:

  1. Character
  2. Capacity
  3. Capital
  4. Conditions
  5. Collateral
  6. Customer relationships

Character, capacity, capital, conditions, dan collateral merupakan komponen 5C yang sudah kita kenal. Customer relationships merupakan komponen baru yang menggenapkan menjadi 6Cs.

Character (Karakter)

Karakter pada umumnya menempati urutan nomor satu dalam 5C untuk menilai kelayakan kredit. Karakter terkait dengan pertanyaan: apakah debitur mau membayar kewajiban pada bank?

Sebaiknya kredit diberikan hanya kalau debitur mempunyai karakter yang baik, yang akan mempunyai komitmen untuk memenuhi kewajiban sesuai perjanjian kredit,. Namun apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan karakter?

Karakter dapat diartikan berbagai macam antara lain: mempunyai moral yang baik, mencerminkan nilai yang dimiliki debitur dalam menjaga reputasi, kejujuran dan integritas, sopan santun, percaya diri yang tinggi, terhormat, mempunyai kualitas, dan sifat baik lainnya. Namun kenyataannya, bersikap baik dan jujur relatif mudah dilakukan pada saat dalam kondisi baik. Namun dalam kondisi krisis, disini karakter debitur diuji apakah benar mempunyai karakter yang baik.

Sekarang bagaimana dengan pemberian kredit untuk perusahaan? Apakah analis dapat menilai karakter perusahaan? Selama ini walaupun bank berupaya tidak memberikan kredit pada debitur perorangan atau perusahaan dengan karakter meragukan, namun tetap saja bank selalu perlu menghapus kredit bermasalah dari waktu kewaktu. Kemungkinan bank kurang cermat dalam menilai karakter debitur, atau karakter debitur yang dengan berjalannya waktu berubah menjadi kurang baik. 

Apakah layak memberikan kredit pada perusahaan, dimana pemilik perusahaan menolak memberikan jaminan pribadi? Apabila orang tersebut tidak berani mengambil risiko, mengapa bank yang harus berani mengambil risiko tersebut? Contoh lain, bank mungkin tidak akan merasa nyaman memberikan kredit pada debitur yang tidak bersedia menjelaskan tujuan penggunaan kredit tersebut.

Pada saat melakukan analisis, lebih baik analis konsentrasi pada identifikasi potensi masalah, dan menilai bagaimana cara debitur mengatasi permasalahan tersebut. hati-hati apabila debitur memberikan informasi hanya apabila ditanya oleh bank. Satu lagi ciri debitur yang sulit dapat dipercaya, yaitu kalau debitur tidak terus terang mempunyai kredit pada bank lain, sampai ditemukan bahwa ada kewajiban yang belum diungkapkan oleh debitur.

Capacity (kemampuan membayar kewajiban)

Debitur walaupun mempunyai karakter baik, dapat saja tidak mampu untuk melunasi kewajiban. Kemampuan membayar kredit tergantung kapasitas debitur atau kemampuan menghasilkan arus kas. Dalam kasus ini, walaupun debitur berkeinginan melunasi kredit apabila sudah jatuh tempo, namun tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan kas untuk membayar kewajiban, sekaligus meneruskan operasional perusahaan. Oleh sebab itu, analisa mendalam dari kemampuan menghasilkan kas lebih penting diban­ding­kan sekedar menilai riwayat hidup direksi atau reputasi debitur pada dunia usaha.

Tingkat kewaspaan harus ditingkatkan pada debitur yang mempunyai riwayat kegagalan dalam usaha. Analis harus menilai kemampuan debitur dalam menghadapi masalah, apakah debitur belajar dari kesalahan, apakah debitur cukup memberikan wewenang pada bawahan untuk memberikan keputusan dalam organisasi.

Sumber utama dari arus kas adalah dari operasional perusahaan, atau operating cash flow, sebagai sumber dana untuk arus kas keluar untuk investasi, dan biaya pendanaan. Sering dikatakan bahwa indikator untuk mengukur kemampuan membayar kewajiban adalah EBITDA (Earning Before Interest and Tax), Namun perlu diingat bahwa EBITDA belum memperhitungkan unsur pendanaan untuk capital expenditure dan tambahan modal kerja. Jadi bisa saja usaha debitur mempunyai EBITDA yang kuat, tapi tidak mampu membeyar kewajiban karena EBITDA tersebut tersedot untuk membiayai capital expenditure dan tambahan modal kerja.

Capital (Modal)

Bagaimanapun karakter dan kapasitas perusahaan, modal tetap diperlukan khususnya untuk membiayai investasi dan modal kerja. Sampai suatu titik tertentu, perusahaan tidak dapat lagi mendanai berbagai kebutuhan pendanaan, tapi memerlukan tambahan kredit modal dari bank, atau dalam bentuk hutang dagang dari pemasok.

Untuk membatasi risiko, analis perlu melakukan evaluasi mengenai struktur modal debitur, khususnya perbandingan antara modal dan hutang perusahaan. Modal equity debitur sebaiknya dilihat sebagai cadangan, tidak sebagai sumber pelunasan kredit. Dalam hal likuidasi, perusahaan harus melakukan likuidasi aset untuk membayar sebagian kewajiban. Jadi modal digunakan untuk melunasi kredit hanya pada saat perusahaan di likuidasi.

Modal equity terdiri dari modal yang disetorkan pemilik, dan akumulasi dari keuntungan perusahaan, yang mencerminkan berapa besar debitur bersedia atau berniat mengambil risiko dari usaha yang dijalankan. Jadi besar modal juga mencerminkan karakter dari debitur.

Preferensi bank agar debitur dapat menempatkan porsi modal lebih besar pada perusahaan sering menjadi keluhan banyak nasabah. Sering terdengar pendapat, bahwa bank hanya memberikan kredit pada saat nasabah tidak membutuhkan, dan berupaya menagih apabila nasabah sedang membutuhkan kredit.  Sementara nasabah sering berkomentar, bahwa apabila mereka memiliki dana sendiri untuk melaksanakan proyek, tentunya nasabah tidak akan ke bank untuk memohon kredit. Jadi sebaiknya bank perlu mengkomunikasikan masalah ini dengan baik pada nasabah. Nasabah paling tidak memiliki dana sendiri terutama pada saat permulaan proyek seperti mendanai biaya pendahuluan, membeli sebagian aset produktif dan modal kerja. Kredit hanya ditujukan agar perusahaan dapat melakukan produksi mencapai titik impas dan memperoleh keuntungan.

Conditions (kondisi ekonomi)

Yang dimaksud dengan condition adalah kondisi ekonomi di suatu negara dan kondisi industri, dimana usaha debitur berada. Bank mengharapkan debitur dapat mempunyai daya tahan yang   tinggi terhadap perubahan kondisi ekonomi dan industri. Apakah usaha akan tahan apabila tingkat penjualan menurun? Dimana industri nasabah terletak dalam siklus bisnis, apakah termasuk usaha yang sedang tumbuh atau sudah mature? Bagaimana daya tahan usaha nasabah apabila ekonomi mengalami resesi? Apakah produk perusahaan mudah digantikan oleh produk lain? Apakah produk nasabah dalam tahapan tumbuh atau sudah jenuh? Dan apakah dapat diperbaharui dengan inovasi produk yang unggul?

Condition merupakan kondisi ekonomi dan lingkungan perusahaan yang dapat mempengaruhi kinerja usaha. Kondisi ekonomi dan lingkungan berada diluar kontrol langsung dari nasabah, namun bank dapat menilai tingkat fleksibilitas manajemen menghadapi perubahan, apabila terjadi kondisi yang kurang menguntungkan. Jadi unsur condition menjelaskan sensitivitas dari usaha terhadap perubahan kondisi ekonomi dan lingkungan. Sebagai contoh, usaha makanan dan minuman pada umumnya tetap laku walaupun ekonomi dalam resesi.

Untuk mengukur faktor condition dapat digunakan parameter β atau beta. Parameter β menunjukan sensitivitas dari harga saham terhadap index misalkan IHSG (index harga saham gabungan). Apabila suatu perusahaan mempunyai β = 1, maka kinerja usaha sejalan dengan index. Apabila nilai β lebih dari satu, maka kinerja usaha akan bergerak lebih besar dibandingkan dengan perubahan index. Usaha dalam industri makanan dan minuman, farmasi pada umumnya mempunyai nilai β yang rendah dan dibawah satu.

Sebelum memberikan persetujuan kredit, bank perlu memahami bagaimana dampak perubahan kondisi lingkungan pada kondis usaha debitur, dan apa yang perlu dilakukan bank apabila situasi yang kurang menguntungkan ini terjadi? Apakah terdapat sumber pelunasan kredit lain yang dapat diandalkan?

Collateral (agunan)

Bank hendaknya tidak melihat agunan sebagai sumber pelunasan kredit, tapi sebagai upaya terakhir untuk memperoleh pembayaran. Agunan jangan diterima apabila dinilai akan sulit untuk dijual apabila terjadi permasalahan dengan usaha debitur.

Pada umumnya agunan yang diterima bank melekat pada suatu usaha tertentu, dan nilai agunan akan jatuh apabila agunan tersebut menjadi bagian dari bidang usaha nasabah. Bank kiranya dapat memahami bahwa apabila seorang nasabah tidak mempunyai komitmen untuk melunasi kredit, biasanya mereka juga tidak ada komitmen untuk memelihara kondisi agunan agar mempunyai nilai yang tinggi. Sehingga pada waktu dilakukan likuidasi, nilai agunan bank menjadi rendah.

Hal lain yang sering menjadi hambatan agar agunan berfungsi sebagai cadangan pembayaran, adalah karena pengikatan agunan tidak dilakukan secara sempurna, sehingga penjualan agunan tidak dapat dilaksanakan.

Customer Relationships

Apabila bank sudah mempunyai hubungan sebelumnya dengan nasabah, maka informasi ini dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam keputusan kredit. Namun apabila hubungan sebelumnya belum pernah ada, maka bank harus mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk menyimpulkan, apakah bank ingin membina hubungan dengan nasabah dimaksud.

Apabila nasabah dari bank lain datang untuk memohon kredit, maka sebaiknya hal ini salah satu peringatan adanya risiko, mengapa nasabah tersebut tidak meminjam saja dari bank dimana sekarang mereka menjadi nasabah? Namun dalam era kompetisi sekarang ini, sudah menjadi kebiasaan bahwa bank semakin aktif berupaya menarik nasabah baik dari bank lain untuk menjadi nasabah mereka.

Semua yang diuraikan diatas sebanarnya tidak ada yang baru bagi bankir perkreditan. Semua sudah mengetahui dan sudah tidak asing sebanrnya buat mereka. Namun kesalahan demi kesalahan terus saja dibuat. Maka tetap diperlukan cadangan kredit bermasalah yang sekarnag disebut dengan CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai). Yang menjadi kunci mungkin perlu senantiasa mengingat kondisi yang tidak menyenangkan apabila ketemu masalah kredit macet, sehingga kedepan kita tdak perlu lagi bersusah payah mengingat dan menerapkan metode perkreditan yang benar. Pada dasarnya bank tidak menginginkan sampai harus mengelola kredit bermasalah. Dan bankir tidak perlu mengalami hal tersebut pabaila selalu mengingat apa yang tidak boleh dilakukan bankir dalam perkreditan agar kredit yang diberikan selalu dalam keadaan sehat.

Ada lima atau lebih prinsip Cs yang harus diperiksa oleh bankir: character, capacity, conditions, capital, and collaterals, yang merupakan hal yang harus dilakukan dalam proses perkreditan. Diluar itu ada lagi princip Cs yang tidak boleh dilakukan oleh bankir berpengalaman, yaitu: complacency carelessness, communication, contingencies, and competition.

Written by psudra2001

May 10, 2011 at 3:45 pm

Posted in Uncategorized

Perlunya bank melakukan stress testing dari kacamata regulator

leave a comment »

BARa risk forum, Bandung, April 2011

Krisis yang terjadi di negara Barat seperti Amerika dan Eropa disinyalir karena terdapat sumber risiko perbankan yang belum menjadi perhatian para bankir. Salah satunya antara lain tidak terpikirkan bahwa surat berharga yang mempunyai rating AAA menurut Moody’s dan standard and poor’s ternyata menjadi tidak likuid pada saat krisis terjadi.

Oleh karena itu bank perlu mulai memikirkan untuk lebih mempersiapkan diri agar bank dapat lebih mempunyai daya tahan (resilience) terhadap berbagai jenis shock, baik yang sudah pernah terjadi maupun untuk yang belum pernah dialami sebelumnya. Demikian disampaikan oleh Pak Wimboh Santoso, Direktur DPNP Bank Indonesia, yang memberikan pidato kunci (key note speech) dalam BARa risk forum 27-28 April 2011, yang diselenggarakan oleh BARa secara periodik, pada kesempatan ini mengambil thema: “Sustaining readiness and resilience of financial sector against future potential shocks”.

Melihat pada berbagai kejadian yang menerpa sebagian bank, yang pada ujungnya sangat mengganggu khususnya reputasi bank tersebut, disebabkan oleh kejadian yang tergolong pada risiko operasional, yaitu yang diakibatkan oleh faktor manusia (pegawai), kesalahan pada operasional dan prosedur, atau ketidakpatuhan pada prosedur dan kebijakan bank yang berlaku.
Jadi dapat disimpulkan bahwa implementasi manajemen risiko operasional bukan sesuatu yang mudah dan sederhana. Tools yang selama ini banyak digunakan pada upaya penanggulangan risiko operasional seperti RCSA (risk and control self assessment) LED (loss event database) dan KRI (key risk indicators) ternyata perlu ditinjau lagi kualitas implementasinya di lapangan. Selain itu, penggunaan tolls dipandang belum cukup, ORM sekarang lebih memerlukan pemahaman yang lebih mendalam dari pelaku yaitu pegawai bank.

Apabila pihak luar dapat membaca bahwa cara operasional bank sudah cenderung terlena, merasa sudah benar dan tidak ada kemauan untuk melakukan perbaikan, maka bank tersebut akan sangat rentan menjadi mangsa para petualang pembobol bank diluar sana. Agar hal tersebut dapat dicegah tidak terulang dikemudian hari, memang perlu kajian lebih mendalam, mungkin dalam acara BARa Risk Forum dilain kesempatan, demikian disampaikan pak Wimboh.

Apabila diamati, ternyata kondisi krisis yang menerpa industri perbankan merupakan siklus yang senantiasa berulang, tapi dengan periode waktu yang lebih panjang. Kalau kita ingat, krisis finansial di Asia pada tahun 1998, berulang pada krisis keuangan yang menerjang negara Barat 10 tahun kemudian pada tahun 2008, yang sampai sekarang masih belum kelihatan ujungnya, kapan Amerika akan bangkit. Sekarang ekonomi di Asia memang sedang boom, tapi kalau kita perhatikan beberapa negara sudah mulai meningkatkan suku bunga seperti China, Thailand dan lainnya, China bahkan sudah menaikan kebijakan GWM sampai 20% untuk meredam overheat dalam ekonominya. Bukan tidak mungkin siklus akan terulang beberapa waktu ke depan, yang kiranya perlu menjadi prioritas bagi perbankan karena risiko sistemik akan sulit untuk dilakukan mitigasi. Jadi lebih bank yang perlu mempersiapkan diri agar lebih tahan dalam menghadapi kondisi krisis ekonomi.
Soal Remunerasi Bankir
Salah satu pemicu krisis adalah perbankan di US yang terlalu mengambil banyak leverage sehingga exposure bank menjadi sangat besar. Selain itu, remunerasi pada para bankir hanya didasarkan pada accenting profit, dan tidak memperhatikan risiko yang akan muncul di masa yang akan datang. Oleh karena itu, seperti yang dilakukan para central banker di negara Barat, Bank Indonesia juga sedang mempertimbangkan mengatur pemberian remunerasi pada bankir, agar meperhitungkan risiko. Sebenarnya hal ini sudah diatur dalam PBI mengenai GCG bahwa remunerasi harus memperhitungkan risiko, dan sekarang ketentuan itu akan dibuat lebih eksplisit.

Salah satu peserta berpendapat, bahwa remunerasi berbasis risiko seperti pencapaian EVA (economic value added) adalah hal yang baik untuk kesinambungan kinerja bank, namun sebaiknya disosialisasikan oleh asosiasi perbankan, untuk mendorong perbankan menentukan remunerasi berdasarkan risiko, dan Bank Indonesia tidak perlu mengatur hal operasional seperti ini. Selain itu, memang karakteristik bisnis bank disini juga agak berbeda, karena belum masuk pada arena derivatif kredit seperti CDS, CDO, CLO dan sebagainya, yang berpotensi mendorong perilaku bankir yang berisiko.

Basel III
Pak Wimboh juga menjelaskan persoalan modal yang tidak mencukupi untuk menyerap risiko sistemik apabila hanya berdasarkan pada perhitungan menurut Basel II. Oleh karena itu, negara-negara yang tergabung dalam G20, termasuk Indonesia, sepakat untuk memberlakukan Basel III, yang akan diterapkan secara bertahap mulai tahun 2013 sampai 2019.

Basel III lebih mengatur soal (1) kualitas modal, dimana porsi modal equity (core tier 1) dipertegas menjadi minimal 4.5%. Minimal Tier 1 adalah 6% jadi bank masih dapat memperhitungkan modal hybrid tertentu sampai 1.5%, dan dapat memperhitungkan modal tier 2 sampai 2% untuk mencapai jumlah keseluruhan minimal 8% dari ATMR. Selain itu bank sekarang harus menyediakan modal equity untuk keperluan cadangan (conservation buffers) sebagai cadangan pada masa krisis, dan countercyclical buffers sebesar 0 – 2.5%, yang diperlukan apabila bank dinilai sudah melakukan ekspansi yang berlebihan. Selain itu, untuk bank yang dinilai memiliki kedudukan penting dalam risiko sistemik, yang disebut dengan SIFI (systematically important financial institution), regulator akan menetapkan tambahan modal yang belum ditentukan aturan permainannya.

Selain masalah modal, Basel III juga mengatur soal counterparty risk pada eksposur derivatif, antara lain dengan metode CVA (Credit Valuation adjustment) dan aturan perhitungan kondisi likuiditas bank. Kalau sudah diberlakukan, bank harus memenuhi ketentuan mengenai LCR (liquidity coverage ratio) dan NSF (net stable funding ratio) minimal sama dengan satu. Mengenai Basel III akan diuraikan lebih lanjut pada tulisan mendatang.

Bank Indonesia sendiri menurut pak Wimboh sudah melakukan apa yang disebut dengan QIS (quantitative impact study) yaitu melihat bagaimana dampak implementasi Basel III pada kondisi permodalan bank nasional. Disimpulkan bahwa perbankan Indonesia tidak mempunyai permasalahan, karena kecukupan modal bank sekarang ini cukup tinggi, yaitu mencapai lebih dari 15%. Namun demikian, industri perbankan perlu memikirkan apakah jumlah modal ini mencukupi untuk ekspansi kredit yang justru sedang didorong Bank Indonesia untuk mendorong pertumbuhan sektor riil, yang saat ini saja sudah mencapai sekitar 24% per tahun. Hal ini mengingat ekspansi kredit akan cepat sekali memangkas level kecukupan modal bank.

Written by psudra2001

May 10, 2011 at 3:35 pm

Posted in Uncategorized

China Bank Regulator Issues New Banking Regulations Under Basel III

leave a comment »

BEIJING -(Dow Jones)- China’s bank regulator on Tuesday issued new regulations to bring management of the country’s banking system in line with the Basel III requirements.

Systemically important financial institutions will have to comply with a minimum capital adequacy ratio of 11.5%, while non-systemically important financial institutions will face a capital adequacy ratio of 10.5%, the China Banking Regulatory Commission said in a statement.

Under current regulations, “large” banks are already required to have an 11.5% capital adequacy ratio, while “small and medium-sized” banks must have a capital adequacy ratio of 10.0%, but the banks are not divided according to systematic importance, according to the CBRC statement.

The new regulations will begin to be implemented in 2012 and banks will be expected to meet the requirements by 2016, two years ahead of the Basel III schedule, the CBRC said.

-By Aaron Back, Owen Fletcher and Stefanie Qi, Dow Jones Newswires; (8610) 8400-7701; aaron.back@dowjones.com

Written by psudra2001

May 10, 2011 at 3:15 pm

Posted in Uncategorized

Tagged with